LEGENDA TELAGA BIDADARI
Diposkan oleh: AdhamDharmawan
Telaga
itu tidak seberapa lebar dan dalam, kurang lebih tiga meter panjangnya
dan dua meter lebarnya dengan kedalaman dua meter. Airnya Bening dan
jernih, tidak pernah kering walau kemarau panjang sekalipun. Letaknya di
atas sebuah pematang, di bawah keteduhan, kelebatan, dan kerindangan
pepohonan, khususnya pohon limau. Jika pohon-pohon limau itu berbunga,
berkerumunlah burung-burung dan serangga mengisap madu. Di permukaan
tanah itu menjalar dengan suburnya sejenis tumbuhan, gadung namanya.
Gadung mempunyai umbi yang besar dan dapat dibuat menjadi kerupuk yang
gurih dan enak rasanya. Akan tetapi, jika kurang mahir mengolah bisa
menjadi racun bagi orang yang memakannya karena memabukkan.
Daerah
itu dihuni seorang lelaki tampan, Awang Sukma namanya. la hidup seorang
diri dan tidak mempunyai istri. Ia menjadi seorang penguasa di daerah
itu. Oleh karena itu, ia bergelar data. Selain berwajah tampan, ia juga
mahir meniup suling. Lagu-lagunya menyentuh perasaan siapa saja yang
mendengarkannya.
Awang
Sukma sering memanen burung jika pohon limau sedang berbunga dan
burung-burung datangan mengisap madu. Ia memasang getah pohon yang sudah
dimasak dengan melekatkannya di bilah-bilah bambu. Bilah-bilah bambu
yang sudah diberi getah itu disebut pulut. Pulut itu dipasang di
sela-sela tangkai bunga. Ketika burung hinggap, kepak sayapnya akan
melekat di pulut. Semakin burung itu meronta, semakin erat sayapnya
melekat. Akhirnya, burung itu menggelepar jatuh ke tanah bersama
bilah-bilah pulut. Kemudian, Awang Sukma menangkap dan memasukkannya ke
dalam keranjang. Biasanya, puluhan ekor burung dapat dibawanya pulang.
Konon itulah sebabnya di kalangan penduduk, Awang Sukma dijuluki Datu
Suling dan Datu Pulut.
Akan
tetapi, pada suatu hari suasana di daerah itu amat sepi. Tidak ada
burung dan tidak ada seekor pun serangga berminat mendekati bunga-bunga
Iimau yang sedang merekah.
“Heran,”
ujar Awang Sukma, “sepertinya bunga limau itu beracun sehingga
burung-burung tidak mau lagi menghampirinya.” Awang Sukma tidak putus
asa. Sambil berbaring di rindangnya pohon-pohon limau, ia melantunkan
lagu-lagu indah melalui tiupan sulingnya. Selalu demikian yang ia
lakukan sambil menjaga pulutnya mengena. Sebenarnya dengan meniup suling
itu, ia ingin menghibur diri. Karena dengan lantunan irama suling,
kerinduannya kepada mereka yang ia tinggalkan agak terobati. Konon,
Awang Sukma adalah seorang pendatang dari negeri jauh.
Awang
Sukma terpana oleh irama sulingnya. Tiupan angin lembut yang membelai
rambutnya membuat ia terkantuk-kantuk. Akhirnya, gema suling menghilang
dan suling itu tergeletak di sisinya. Ia tertidur.
Entah
berapa lama ia terbuai mimpi, tiba-tiba ia terbangun karena dikejutkan
suara hiruk pikuk sayap-sayap yang mengepak. Ia tidak percaya pada
penglihatannya. Matanya diusap-usap.
Ternyata,
ada tujuh putri muda cantik turun dari angkasa. Mereka terbang menuju
telaga. Tidak lama kemudian, terdengar suara ramai dan gelak tawa mereka
bersembur-semburan air.
“Aku
ingin melihat mereka dari dekat,” gumam Awang Sukma sambil mencari
tempat untuk mengintip yang tidak mudah diketahui orang yang sedang
diintip.
Dari
tempat persembunyian itu, Awang Sukma dapat menatap lebih jelas.
Ketujuh putri itu sama sekali tidak mengira jika sepasang mata lelaki
tampan dengan tajamnya menikmati tubuh mereka. Mata Awang Sukma singgah
pada pakaian mereka yang bertebaran di tepi telaga. Pakaian itu
sekaligus sebagai alat untuk menerbangkan mereka saat turun ke telaga
maupun kembali ke kediaman mereka di kayangan. Tentulah mereka bidadari
yang turun ke mayapada.
Puas
bersembur-semburan di air telaga yang jernih itu, mereka bermain-main
di tepi telaga. Konon, permainan mereka disebut surui dayang. Mereka
asyik bermain sehingga tidak tahu Awang Sukma mengambil dan
menyembunyikan pakaian salah seorang putri. Kemudian, pakaian itu
dimasukkannya ke dalam sebuah bumbung (tabung dari buluh bekas memasak
lemang). Bumbung itu disembunyikannya dalam kindai (lumbung tempat
menyimpan padi).
Ketika
ketujuh putri ingin mengenakan pakaian kembali, ternyata salah seorang
di antara mereka tidak menemukan pakaiannya. Perbuatan Awang Sukma itu
membuat mereka panik. Putri yang hilang pakaiannya adalah putri bungsu,
kebetulan paling cantik. Akibatnya, putri bungsu tidak dapat terbang
kembali ke kayangan.
Kebingungan,
ketakutan, dan rasa kesal membuat putri bungsu tidak berdaya. Saat itu,
Awang Sukma keluar dari tempat persembunyiannya.
“Tuan Putri jangan takut dan sedih,” bujuk Awang Sukma, “tinggallah sementara bersama hamba.”
Tidak ada alasan bagi putri bungsu untuk menolak. Putri bungsu pun tinggal bersama Awang Sukma.
Awang
Sukma merasa bahwa putri bungsu itu jodohnya sehingga ia meminangnya.
Putri bungsu pun bersedia menjadi istrinya. Mereka menjadi pasangan yang
amat serasi, antara ketampanan dan kecantikan, kebijaksanaan dan
kelemahlembutan, dalam ikatan cinta kasih. Buah cinta kasih mereka
adalah seorang putri yang diberi nama Kumalasari. Wajah dan kulitnya
mewarisi kecantikan ibunya.
Rupanya
memang sudah adat dunia, tidak ada yang kekal dan abadi di muka bumi
ini. Apa yang disembunyikan Awang Sukma selama ini akhirnya tercium
baunya.
Sore
itu, Awang Sukma tidur lelap sekali. Ia merasa amat lelah sehabis
bekerja. Istrinya duduk di samping buaian putrinya yang juga tertidur
lelap. Pada saat itu, seekor ayam hitam naik ke atas lumbung. Dia
mengais dan mencotok padi di permukaan lumbung sambil berkotek dengan
ribut. Padi pun berhamburan ke lantai.
Putri
bungsu memburunya. Tidak sengaja matanya menatap sebuah bumbung di
bekas kaisan ayam hitam tadi. Putri bungsu mengambil bumbung itu karena
ingin tahu isinya. Betapa kaget hatinya setelah melihat isi bumbung itu.
“Ternyata,
suamiku yang menyembunyikan pakaianku sehingga aku tidak bisa pulang
bersama kakak-kakakku,” katanya sambil mendekap pakaian itu.
Perasaan
putri bungsu berkecamuk sehingga dadanya turun naik. Ia merasa gemas,
kesal, tertipu, marah, dan sedih. Aneka rasa itu berbaur dengan rasa
cinta kepada suaminya.
“Aku harus kembali,” katanya dalam hati.
Kemudian,
putri bungsu mengenakan pakaian itu. Setelah itu, ia menggendong
putrinya yang belum setahun usianya. Ia memeluk dan mencium putrinya
sepuas-puasnya sambil menangis. Kumalasari pun menangis. Tangis ibu dan
anak itu membuat Awang Sukma terjaga.
Awang
Sukma terpana ketika menatap pakaian yang dikenakan istrinya. Bumbung
tempat menyembunyikan pakaian itu tergeletak di atas kindai. Sadarlah ia
bahwa saat perpisahan tidak mungkin ditunda lagi.
“Adinda
harus kembali,” kata istrinya. “Kanda, peliharalah putri kita,
Kumalasari. Jika ia merindukan ibunya, Kanda ambillah tujuh biji kemiri,
masukkan ke dalam bakul. Lantas, bakul itu Kanda goncang-goncangkan.
Lantunkanlah sebuah lagu denganngan suling Kanda. Adinda akan datang
menjumpainya.”
Putri
bungsu pun terbang dan menghilang di angkasa meninggalkan suami dan
putri tercintanya. Pesan istrinya itu dilaksanakannya. Bagaimana pun
kerinduan kepada istrinya terpaksa dipendam karena mereka tidak mungkin
bersatu seperti sedia kala. Cinta kasihnya ditumpahkannya kepada
Kumalasari, putrinya.
Konon, Awang Sukma bersumpah dan melarang keturunannya untuk memelihara ayam hitam yang dianggap membawa petaka bagi dirinya.
Konon, Awang Sukma bersumpah dan melarang keturunannya untuk memelihara ayam hitam yang dianggap membawa petaka bagi dirinya.
Telaga
yang dimaksud dalam legenda di atas kemudian diberi nama Telaga
Bidadari, terletak di desa Pematang Gadung. Desa itu termasuk wilayah
Kecamatan Sungai Raya, delapan kilometer dari kota Kandangan, ibukota
Kabupaten Hulu Sungai Selatan Propinsi Kalimantan Selatan.
Sampai
sekarang, Telaga Bidadari banyak dikunjungi orang. Selain itu, tidak
ada penduduk yang memelihara ayam hitam, konon sesuai sumpah Awang Sukma
yang bergelar Datu Pulut dan Datu Suling.
Saya dukung pelestarian khazanah cerita rakyat hulu sungai selatan, kandangan, kalimantan selatan seperti datuk panglima hamandit, datung suhit dan datu makandang, datu ramanggala di ida manggala, datu rampai dan datu parang di baru sungai raya, datu ulin dan asal mula kampung ulin, datu sangka di papagaran, datu putih dan datu karamuji di banyu barau, legenda batu laki dan batu bini di padang batung, legenda gunung batu bangkai loksado, legenda datu ayuh/sindayuhan dan datu intingan/bambang basiwara di loksado, kisah datu ning bulang di hantarukung, datu durabo di kalumpang, datu baritu taun dan datu patinggi di telaga langsat,legenda batu manggu masak mandin tangkaramin di malinau, kisah telaga bidadari di hamalau, kisah gunung kasiangan di simpur, kisah datu kandangan dan datu kartamina, datu hamawang dan sejarah mesjid quba, tumenggung antaludin mempertahankan benteng gunung madang, panglima bukhari dan perang amuk hantarukung di simpur, datu naga ningkurungan luk sinaga di lukloa, datu singa karsa dan datu ali ahmad di pandai, datu buasan dan datu singa jaya di hamparaya, datu haji muhammad rais di bamban, sejarah mesjid ba angkat di wasah, dakwah penyebaran agama islam datu taniran, datu balimau dan habib lumpangi, kubur enam pahlawan di ta’al, kuburan tumpang talu di parincahan, perang garis demarkasi dan kubur Brigjen H.M.Yusi di karang jawa, pahlawan wanita aluh idut di tinggiran, panglima dambung di padang batung, gerombolan ibnu hajar, sampai cerita tentang perang kemerdekaan Divisi IV ALRI yang dipimpin Brigjen H. Hasan Basri dan pembacaan teks proklamasinya di Kandangan. Semuanya adalah salah satu aset budaya dan sejarah bagi Kalimantan Selatan.
BalasHapus